Sisi Kreatif Garin Nugroho Dari Film "Guru Bangsa: Tjokroaminoto"

Guru Bangsa: Tjokroaminoto adalah film yang disutradarai oleh Garin Nugroho. Film ini bercerita tentang seorang Bangsawan Jawa bernama Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Beliau adalah seorang pemimpin dari Sarekat Islam yang berdiri pada masa Hindia Belanda. Tjokroaminoto adalah orang pertama yang secara terang - terangan menentang pemerintah Hindia Belanda lewat surat kabar yang dia tulis. Suatu hari Tjokroaminoto yang gelisah akan keinginannya untuk hijrah dan melawan Pemerintahan Hindia Belanda dimintai bantuan oleh H. Samanhudi (pembuat Sarekat Dagang Islam) untuk mengatasi pembekuan Sarekat Dagang Islam. Dengan kemampuannya dalam berpidato dan berdialog ia pun mengubah nama Sarekat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam demi menghindari pembekuan tersebut. Seiring waktu berjalan, Sarekat Islam menjadi organisasi besar yang berisi warga pribumi dan Cendekiawan yang ingin menentang Pemerintah Hindia Belanda. Diantaranya para cendekiawan tersebut ialah Musso, Soekarno, Kartosuwirjo, dan Semaoen. Sarekat Islam akhirnya menjadi organisasi dagang besar yang menentang Pemerintah Hindia Belanda bersama dengan pedagang - pedagang besar Tionghoa pada masa itu dibawah kepemimpinan Tjokroaminoto.

Siapa yang tidak kenal dengan Garin Nugroho? Beliau adalah sutradara yang terkenal dengan keuletan dan kemampuannya dalam menyutradarai film. Beliau adalah lulusan dari IKJ dan telah menyutradarai banyak film. Diantaranya adalah film "Guru Bangsa: Tjokroaminoto". Banyak sisi kreatif dari Garin Nugroho yang bisa kita bahas lewat film ini. Seperti yang kita tahu bahwa Garin sangat detail meletakan elemen-elemen penting pada film-filmnya, tak terkecuali film ini.

Dimulai dari film-film nya terlebih dahulu. Sadar atau tidak, Garin sangat suka mengangkat sejarah sebagai tema mayor di film-filmnya. Seperti contoh "Soegija" dan "Guru Bangsa: Tjokroaminoto". Mungkin orang akan heran, mengapa harus mengangkat sejarah? Tapi dampaknya akan dirasakan ketika kita menonton kedua film tersebut. Banyak orang tahu tentang Hadji Oesman Said Tjokroaminoto tapi hanya sekedar nama. Namun di film "Guru Bangsa: Tjokroaminoto", dengan kemampuan eksekusi film yang bagus, Garin berhasil membuat orang menjadi penasaran dan bahkan mengulik kembali tentang siapa Tjokroaminoto dan Sarekat Islam. Penonton yang awalnya hanya tau nama saja akan tercengang ketika mengetahui bahwa para pemimpin bangsa dan pemberontaknya adalah dulunya satu guru. Dan terbukti, ketika menonton banyak yang kaget saat mengetahui bahwa Musso, salah satu otak dari G30S/PKI dulunya satu kosan dengan Soekarno Sang Proklamator sekaligus Presiden pertama Indonesia dan Kartosuwirjo, pemimpin Darul Islam dan otak dari pemberontakan dan pembentukan Negara Islam Indonesia.

Kita lanjutkan ke Detail Framing dan Pengadeganan. Garin sangat jarang meletakan tokoh ditengah frame. Bahkan sebanyak apapun pemeran yang ada di frame, dia berusaha untuk membuat semua pemerannya bergerak, dan itu sangat unik. Seperti contoh scene dibawah.


Bagaimana cara Garin menyisipkan pergerakan pemeran yang hendak menghindari kayu yang akan dibawa dan inisiatif untuk memberitahukan Reza Rahadian untuk menghindarinya. Betapa detailnya sampai hal ini pun terpikirkan oleh Garin. Hal-hal seperti ini jarang kita lihat pada sutradara lainnya dan bahkan mungkin tak sempat terpikirkan. Inilah yang menjadi salah satu daya tarik dari Garin Nugroho.

Selanjutnya adalah Dialog. Tidak hanya menggunakan kalimat puitis, namun Garin juga sering menyisipkan Slogan dan kalimat-kalimat yang membakar semangat perjuangan. Kepandaiannya dalam mengolah dan menyusun kalimat juga menjadi sisi kreatif milik Garin yang jarang dimiliki oleh sutradara lain.

Salah satu slogan yang terdapat di film ini adalah "...karena bila kaum jawa dan tionghoa bersatu, maka SUBUR TANAH INI" dan juga "Tidak perlu ada perdebatan, karena itu tidak akan memenangkan apapun".



Selanjutnya adalah Steady Shot. Mengapa dengan Steady Shot? Di film ini saya menyadari bahwa sangat banyak menggunakan Steady Shot. Yang paling berkesan buat saya adalah ketika Tjokroaminoto dan Haji Samanhudi berpidato di depan anggota Sarekat Islam. Scene ini banyak menggunakan Steady Shot dan berhasil membuat kharisma dari Tjokroaminoto selaku guru dan pemimpin Sarekat Islam menjadi sangat terasa.

Kemudian Garin juga (di film ini) sangat banyak menghilangkan jeda dialog. Maksudnya adalah apabila ada dua monolog yang tidak saling bersahutan namun diucapkan di saat yang hampir sama, Garin tidak menurunkan volume salah satu dialognya untuk mengarahkan penonton ke masalah utama. Ia justru membiarkan dua monolog tersebut saling bersambung. Namun tentu saja monolog yang diucapkan tersebut tidak panjang. Namun itu menjadi kekhasan lain dari Garin. Begitu juga dengan Dialog. Seperti contoh Scene dibawah ini.


Garin tidak mengurangi Volume ketika pemimpin kaum Tionghoa berkata "Sampean iku kan wong Suroboyo" langsung disambung dengan Tjokroaminoto yang berkata "Kalau kalian iri mereka punya sekolah-sekolah, maka buat sekolah yang baik" yang kemudian langsung disambung lagi oleh pemimpin kaum Tionghoa tanpa ada jeda. Aneh, tapi unik dan menarik.

Terakhir, kesimpulannya adalah Garin adalah sutradara brilian yang banyak memiliki sisi kreatif dibandingkan dengan sutradara lain dan sisi kreatif tersebut diantaranya berkaitan dengan Tema yang diangkat, Detail Framing, Dialog, dan Shot-shot yang diambilnya. Dan semua itu menjadi Trademark bagi Garin. Sekian pembahasan kita mengenai sisi kreatif dari Sutradara Garin Nugroho. Mohon tinggalkan kritik dan saran agar penulis bisa lebih baik lagi dalam menulis dan menganalisa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Darah Dan Doa (1950), Sisi Kreatif Dari Usmar Ismail

Tiga Dara (1956) Sisi Kreatif Usmar Ismail Dalam Mengemas Film Komersiil