Tiga Dara (1956) Sisi Kreatif Usmar Ismail Dalam Mengemas Film Komersiil

"Tiga Dara" (1956) adalah sebuah film komersiil pertama Usmar Ismail yang release di tahun 1956. Bercerita tentang 3 saudari yaitu Nunung, Nana, dan Neney yang hidup dan dibesarkan oleh sang Nenek. Mereka hidup dibawah kenyataan bahwa Ibu mereka telah meninggal dan Ayah mereka sibuk dengan pekerjaannya. Disaat mereka mulai mengenal dan menemukan cinta mereka, sang Nenek mulai khawatir dan mengeluarkan banyak alasan dengan dalih ia tidak ingin cucu-cucunya kenapa-kenapa. Bagaimana akhirnya Nunung, Nana, dan Neney mengatasi hal tersebut dan meyakinkan Sang Nenek kalau mereka akan baik-baik saja? Disinilah masa remaja mereka diuji.

Untuk kelas film komersiil tentu saja Usmar Ismail tidak akan mengangkat tema perjuangan (setidaknya di masa itu). Namun tetap saja, mengangkat genre Drama Musikal untuk seorang sutradara yang terhitung baru, Usmar Ismail pun sukses di film "Tiga Dara" ini. nampaknya selain perhatian dengan sejarah dan perjuangan, di film-filmnya sendiri Usmar Ismail juga menyisipkan sebuah adegan percintaan yang rumit. Apabila di film "Darah Dan Doa" ia menyisipkan kisah cinta Sudarto dengan wanita Indo-Jerman meskipun ia sudah punya seorang istri, disini ia menceritakan kisah cinta dari masing-masing Nunung, Nana dan Nenny yang mana terjadi konflik cinta antara Nunung, Nana dan Toto (Cinta Segitiga).

Dan selain itu, Usmar Ismail juga membawa sebuah mitos masyarakat jawa tentang "Melangkahi Kakak Untuk Menikah" dimana sang
nenek marah dan takut apabila Nana menikah lebih dulu, maka Nunung tidak akan bisa menikah (Nana Melangkahi Nunung untuk menikah lebih dulu). Hal yang terlihat sepele namun sebenarnya cukup unik untuk dibahas apalagi dengan media audio visual. Dan pengangkatan topik semacam ini yang menjadi tonggak perfilman Indonesia terutama film pendek. Seperti contoh film pendek "Prenjak" karya Wregas Bhanuteja yang menceritakan tentang kultur lama Yogyakarta tahun 1980-an yang dibawa ke era sekarang. Hal-hal berbau kedaerahan seperti ini ternyata cukup menarik minat baik lokal maupun asing.

Masih sama dengan sebelumnya di film "Darah Dan Doa", kalimat retorik, puitis masih digunakan. hanya saja tentu untuk menyesuaikan tema, di film ini tidak ada kalimat-kalimat slogan. Dan tentu saja, lebih menariknya lagi, Usmar Ismail sangat rapih dalam meletakan kamera dan pengadeganan di film ini tidak sekaku di film "Darah Dan Doa". Belum lagi keberanian Usmar Ismail dalam mengambil Long Take mengingat satu roll film itu harganya cukup mahal.

Tidak hanya sampai disitu. Usmar Ismail juga gemar melakukan Track In tetapi tetap dengan Camera Movement yang seperlunya saja, meskipun bila saya banCamera Movement di film ini sedikit lebih banyak dan sangat memperhatikan framing. Bila kita perhatikan juga, di beberapa filmnya Usmar Ismail seperti banyak melakukan percobaan, mungkin memang dia orang yang sangat suka mencoba hal baru atau memang ada makna dibalik percobaanya tersebut. Tidak perlu ribet-ribet, dari keberanian dia yang mengangkat genre Drama Musikal di film ini saja itu sudah menunjukkan kalau ia sedang mencoba. Bahkan Usmar Ismail juga ikut bermain peran di film ini dimana ia berperan sebagai "Paman Tamsil" yang tinggal di Bandung.
dingkan dengan film "Darah Dan Doa",

Kesimpulannya adalah Usmar Ismail adalah Sutradara yang banyak dan gemar mencoba hal-hal baru namun tetap mempertahankan ideologi serta kekhasan di setiap filmnya. Ia juga gemar menyisipkan kisah cinta yang rumit di setiap filmnya. Sekian dari saya. Terima Kasih sudah membaca tulisan saya ini. Kritik dan saran akan sangat diterima sebagai pembelajaran kedepannya saya dalam menulis artikel dan review. Akhir kata dari saya "SALAM SINEMA".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sisi Kreatif Garin Nugroho Dari Film "Guru Bangsa: Tjokroaminoto"

Darah Dan Doa (1950), Sisi Kreatif Dari Usmar Ismail